dengan dorongan langkah ia melampaui zaman-zaman
musim-musim melambai, waktu-waktu berpasung di kakinya
lelaki itu, berjalan untuk mengetuk rahim fajar yang menelurkan subuh
di embun matanya, Dik, kabut memekat dan larut
membanjiri cakrawala
lelaki itu melangkah di atas arwah peradaban yang tertidur di kaki akar
satu tetes keringatnya menjadi lautan
dimana sampan-sampan sejarah merangkak di punggungnya
setetes darahnya membentuk pulau-pulau
kerinduan karam, kesepian terdampar
kepergian setelah kedatangan silih berganti membangun pusara di atas ubunnya
sebuah jejaknya berubah jembatan
tempat kematian menyeberangi kehidupan
kebahagiaannya tak mendapat musim untuk kembali
serupa darah mengalir tak pernah balik ke liang nadi
ia lelaki yang tersesat di liang rahim, alam menelurkannya ke bumi
dierami di bawah panasnya bangsal-bangsal peradaban
ia menetas dan berumah di cangkangnya
melewatkan usia dalam bayangan hampa
lumut-lumut menjalar mengakari ingatan
keganasan bumi adalah jejak yang terekam
lelaki itu, dik, dengan kegersangan langkahnya ingin menghidupkan musim semi
berdiri senyiur pohon-pohon, menunggui cuaca menjatuhkan buah
agar tanah tak lagi sunyi
lelaki itu, dik, dengan kekeringan matanya ingin melayarkan perahu-perahu
mencari bayangan ayah-ibu yang termakan abad
serupa kematian berdiri di atas kepala, demikian harapan dibangun
hingga lumut mengakari daging
lelaki itu merindukan dua belah sayap jatuh disisi punggungnya
terbang, menunggui kebahagiaan keluar dari pintu syurga
payakumbuh, 17-03-14
0 comments:
Post a Comment