TERUNTUK AKU DAN TUHAN

Posted by






TERUNTUK AKU DAN TUHAN

  Enam bulan sesudah grup tarinya bubar, Nani belum memutuskan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Saban petang, sebelum matahari tergelincir  di barat, ia masih setia menyusuri jalan setapak yang mendaki. Melintasi rimbunan alang-alang yang sebelumnya tak pernah tumbuh disana, untuk kemudian tiba disebuah bangunan kayu beratap rumbia, berlantai bambu tanpa dinding yang menutupi. Ditempat itulah dulu ia menghabiskan  hari-hari untuk berlatih menari. Dulu sebelum petang tiba, tabuhan suara gendang, gamelan, dan hentakan kaki para penari yang diiringi menjadi cara tersendiri bagi Nani dan teman-teman nya untuk sekedar menikmati keindahan alam ini.
            Kadang ia membayangkan dirinya tengah berada disebuah gedung festival seni yang megah. Bergabung bersama seluruh penari-penari dari mancanegara. Menunjukkan pada dunia bahwa indonesia juga memiliki beragam tarian tradisional yang luar biasa. Mungkin tidak kalah hebatnya dengan Gangnam style ataupun Harlem shake yang sekrang begitu tenar dikalangan masyarakat. Menurutnya tidak sedikitpun mengandung nilai-nilai estetika.
‘’Aku mestinya sudah menari diluar negeri !’’ selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Kemudian ia akan menari sendirian. Merasakan kembali berada ditengah-tengah Wiwit, Hanum, dan Helia yang tiada lain adalah teman-teman sesama menari dahulu. Mereka yang satu kampung tergabung dalam sebuah grup tari yang mereka beri nama ‘’Kaki Bumi’’ ditemani beberapa orang pemain alat musik daerah dari kampung mereka. Disini. Dipentas kayu sederhana ini dulu mereka  sering belajar gerakan-gerakan baru. Nanilah sosok yang paling antusias memperagakan setiap gerakan-gerakan baru yang ia ciptakan sendiri.
‘’coba kalian lihat gerakanku yang ini ! ini perpaduan Reog Ponorogo dengan tarian Pagean Bali’’. Ia berputar-putar sembari memegangi ujung-ujung selendangnya dengan jari telunjuk dan jempol saling mengatup. Satu kaki ia jinjitkan sambil terus memainkan selendang biru tua yang berkibar dihembus angin petang yang bergerak semilir.
‘’plok..plok...plok.. kamu memnag hebat’’, ujar seluruh penari lain. Kemudian mereka akan meminta Nani untuk mengajarkan mereka.
            Perlahan air matanya turun menyapu rona merah diwajahnya. Kemudian berderai satu-satu kelantai, membentuk genangan kecil yang tak beraturan.  Kerinduan akan kebersamaan mereka seperti meledak-ledak. Perempuan bertubuh sedang itu tersedak.
Dipejamkannya matanya. Diingatnya kembali semua gerakan-gerakan indah yang pernah mereka mainkan disini. Tiada lagi suara iring-iringan gamelan dan gendang yang ditabuh. Cuma angin yang menciptakan irama kegetiran disetiap gerakan tariannya. Dalam hati ia terus membatin. Ia akan terus menari, sekalipun tiada orang lain yang peduli. Ia akan terus menari meski hanya untuk dirinya sendiri, dan untuk Tuhan yang telah memberikannya mimpi yang terus menari-nari dikedalaman hati.
*
Dulu, Nani sungguh menikmati hari-harinya. Bila pagi tiba, ketika matahari sepenggalah tingginya, ia bersama rombongan yang telah menunggunya disanggar berangkat memenuhi undangan mengisi acara hajatan atau festival menari. Ia dan beberapa penari lain, ditemani para penabuh gendang, gamelan dan para pemain musik lain berjejalan di bak truk yang mengakut mereka. Biasanya mereka akan bernyanyi lagu-lagu daerah ditemani dentuman-dentuman gendang dan gamelan hingga ditempat tujuan.
Honor dua ratus lima puluh ribu dibagi dengan lima orang penari dan empat orang pemain musik harus ia jalani empat tahun belakangan ini. Semenjak ayah dan ibunya meninggal ia telah diwarisi wewenang untuk melestarikan budaya yang terus diwariskan dari keluarga turun temurun. Menjadi penari tarian tradisional. Kehidupan paman dan bibinya yang hanya digantungkan pada sawah dan kebun pisang tidak terlalu mampu memenuhi kebutuhan Nani.
‘’Zaman mungkin telah berubah, fanatisme terhadap budaya lokal mulai terpupus dari ingatan masyarakat. Namun kita menari untuk melestarikan budaya bangsa kita. Cukuplah Reog Ponorogo yang hampir lepas dari tangan bangsa ini’’, ujar nani suatu kali sepulang dari memenuhi hajatan untuk menari dikampung sebelah. Matanya terus menerawang diambang petang. Truk L300 yang mereka tumpangi  terus melaju meninggalkan langit barat  yang tampak bewarna kemerah-merahan. Asap bergulung-gulung meluncur  menggumuli  kekesalan teman-temannya yang harus pasrah hanya dibayar sepuluh ribu perorang. Hasil yang tak sepadan dibanding tari tradisional yang hidup mati harus mereka perjuangkan.
*
Peristiwa dibelakang panggung  pertunjukan itu tidak pernah sirna dari ingatan Nani. Usai pertunjukan pertama mereka memutuskan berlatih dibelakang panggung. Suara bilah-bilah bambu dan gamelan yang dipukul terseok-seok diantara gerakan kaki-kaki penari yang tidak bertenaga. Latihan singkat itu terhenti sejenak.
‘’kudengar kamu akan bekerja dikota Wit?’’ ujar seorang laki-laki brewokan yang biasa menabug gendang pada seorang penari bernama Wiwit. Pertanyaan itu disambut raut tak percaya dari wajah Nani dan yang lainnya. Arena latihan itu sontak hening, sebelum Nani angkat bertanya.
‘’benarkah itu Wit?”’
‘’iya, Paman Dewo dan Istrinya akan memperkerjakanku pada sebuah toko sepatu yang baru mereka buka’’. Wiwit hanya menatap keluar panggung. Tak berani menatap wajah rekan-rekannya yang pasti kecewa setelah mendengar penuturannya.
‘’kami sangat mengerti kemauanmu wit, apalagi melihat keadaan grup Kaki Bumi yang kian tidak ada penghasilan tetap. Namun ini tak akan lama, Cuma menunggu masyarakat ini sadar betapa berharganya tari tradisional. Dan yang kita lakukan sekarang adalah perjuangan untuk itu’’, ujar Nani sambil kembali membenarkan sanggulnya yang terlepas.  
‘’Menunggu? Menunggu sampai kapan? Perjuangan kita ini tak ubahnya serupa make up diwajahmu itu. Mereka telah membilasnya dengan air modernisme. Luntur. Dan tak bersisa apa-apa kecuali nama. Hidup disini sudah hampir tidak ada harapan. Aku juga harus memikirkan nasib kedua anak-anakku.’’. Wiwit berdiri sambil mengemasi isi tas nya.
‘’tapi  keputusanmu itu menurutku sangat egois.  Baru kemaren kita berjanji  untuk terus berjuang bersama-sama. Namun sekarang tiba-tiba kau ingin minggat dari usaha yang sudah lama kita rintis ini’’ , ujar pemain suling dengan nada putus asa.
‘’hidup tidak pernah bisa kita tebak, kadang kita perlu mencoba sesuatu yang baru untuk berubah. Nasib ada ditangan kita masing-masing, bukan pada gendang ,suling ataupun gamelan ini. Ini sudah keputusanku. Minggu besok aku akan berangkat ke kota’’. Wiwit hanya menoleh sebentar kepada teman-temannya, sebelum memalingkan punggung keluar dari pentas pertunjukan. Pertunjukan mereka hari itu batal, dan terpaksa pulang tanpa membawa apa-apa.
Petang itu adalah terakhir kali mereka bertemu dengan Wiwit. Sepekan berlalu, Wiwit sudah pergi ke kota dijemput pamannya. Semenjak kejadian itu grup Kaki Bumi kehilangan gairah. Satu persatu anggota mulai putus asa dan berguguran. Sebagian mereka ada yang kembali menggarap sawah, berkebun dan berladang. Sebagian lagi memutuskan mengadu nasib ke kota, mengikuti jejak Wiwit, penyebab awal bubarnya Kaki Bumi.
*
            Setelah melewati deretan semak dijalan setapak belakang rumahnya, Nani bersandar di dinding sanggar tarinya. Dikepalanya terus terngiang-ngiang keinginan paman Harun yang membuatnya jenuh dan memutuskan berdiam diri ditempat ini.
‘’ Sudah sa’atnya kamu harus mencoba  peruntungan Nan. Bekerja di kota. Atau paling tidak membantu bibimu mengolah sawah dan berladang. Tentu jauh lebih baik’’. Perkataan pamannya seperti hendak menggorok mimpi-mimpinya.
‘’paman tidak pernah tahu apa yang aku inginkan. Paman tidak mengerti masalah mimpi-mimpiku’’, ujar Nani seraya memalingkan muka dari paman Harun yang berdiri didepan pintu kamarnya.
‘’Pamanmu benar Nani.  Tidak ada salahnya kan kamu mencoba bekerja. Toh semua teman-temanmu dulu sudah banyak yang sukses dikota’’. Ujar bibinya  yang sedari tadi ikut nimbrung .
‘’ini bukan hanya masalah uang, paman dan bibi tidak akan pernah mengerti. Ini juga tentang masalah harga diri. Harga diri kita dan negeri ini’’. Usai berkata demikian Nani bergegas keluar meninggalkan paman dan bibinya yang tampak putus asa membujuknya.  Dua orang yang telah ia anggap orang tua itu juga tidak mengerti dengan keinginan dan mimpinya. Mimpi yang telah diwariskan oleh ibunya yang juga seorang penari. Ia juga ingin menjadi penari. Memperkenalkan seni negeri ini kepada bangsa lain. Sehingga tidak ada lagi budaya bangsa ini dicap sebagai budaya mereka.
            Gerimis mengalirkan gelap. Namun Nani masih berkutat dengan mendung fikirannya. Sesekali ia mengalihkan pandangan pada alat-alat musik yang kini bisu, merindukan tangan-tangan para pemainnya. Ia berfikir keras, mencoba mencari kemungkinan baru  dari mimpi-mimpinya ini. ‘’mimpi harus terus berjalan, sekalipun disa’at kita kehilangan sandara untuk berdiri. Ia akan terus menari, meskipun itu hanya untuk dirinya dan Tuhan’’, ujarnya dalam hati.
            Bergantinya waktu membuatnya memutuskan untuk menjual alat-alat musik disanggarnya. Ia akan membuka kursus menari ditempat ia sekarang berdiri.
*
            Tak ada lagi suara gamelan ataupun bunyi merdu suling yang ditiup, yang ada hanya suara Nani yang begitu antusias memperbaiki gerakan-gerakan murid-muridnya.  Sesekali muridnya bergurau mengikuti gerakan-gerakan Nani yang sulit mereka ikuti. Namun dengan sabar Nani membenarkan. Ia tahu mempelajari tari tradisional membutuhkan kesabaran  dan penekanan jiwa yang mendalam kedalam diri sang penari itu sendiri. 
Sebulan berlalu sanggar latihan menarinya dibuka, namun baru enam orang yang mau menjadi muridnya, itupun karena dijanjikan gratis oleh Nani. Hanya bermodalkan uang hasil penjualan alat-alat musik, Nani mencukupi semua kebutuhan sanggar menarinya. Meskipun tidak seperserpun bayaran yang ia dapatkan,namun Nani yakin titik dari mimpi itu ialah kepahitan, dan ujungnya ialah kemanisan. Ibarat rerumputan kering yang menjulang  disekeliling sanggar, kelak ia akan hijau seiring berlalunya kemarau . hujan yang membasahi akan menumbuhkan kembali tunas-tunasnya. sebuah kalimat perjuanagn telah menelan bulat-bulat hatinya.  
‘’modenisasi seringkali berhadapan dengan wajah-wajah tradisionalisme  kesenian tradisional yang menyimpan nilai-nilai adiluhug regional. Spiritual dalam lokalitasnya, cenderung  bertentangan dengan dengan modernitas yang mengedepankan rasionalitas’’, ujar Nani suatu kali, usai melatih murid-muridnya.
Sekarang dimana ada hajatan sangat jarang dihiasi dengan seni tradisional. Semenjak organ tunggal memasuki kampung ini, seni tradisional seolah mati suri. Nani seringkali miris menyaksikan generasi muda yang berbondong-bondong menonton organ tunggal. Menyaksikan biduan-biduan seksi meliuk-liuk diatas pentas.
            Usia Nani memang baru 23 tahun. Usia yang cukup muda untuk memiliki jiwa kulturalisme yang tinggi. Memiliki keinginan yang mungkin hanya dimiliki oleh satu orang saja dari seribu orang generasi muda di dunia. Pernah ia ditawari bekerja sebagai Suvenir di kota oleh sahabatnya Hanum, kawan sesama menari dulu. Lebaran kemaren ia pulang dengan mobil sedan mewah. Namun ada satu hal yang berubah dari sahabatnya itu, yaitu cara berpakaian nya yang cendrung lebih terbuka. Konon kata tetangga-tetangganya, Hanum bukan bekerja sebagai suvenir , melainkan sebagai penyanyi diskotik dan penari di club malam. Penawaran itu ditolak Nani mentah-mentah. Setidaknya untuk sekarang ia merasa lebih beruntung dari pada hanum, masih punya moral dan harga diri.
*
            Malam itu lampion-lampion terpajang dan menyala dimana-mana. Jutaan pemuda ramai memenuhi ruas jalan. Aroma miras tercium setiap kali Nani melewati kerumunan orang-orang yang terbius dunia malam. Musik Disco, Gangnam style dan Harlem shake menambah erotisme pesta mereka. Mereka semua menari sambil memegang botol-botol miras. Gerakan mereka liar , bahkan ada yang serupa orang kerasukan. Lelaki dan perempuan bercampur baur dalam aroma bejat yang membius. Nani terus berjalan sendirian. Menerobos kerumunan yang semakin sesak. Jutaan pasang mata memandang kerahnya. Ia kemudian memilih jalan lain sebelum diajak berbaur dengan mereka. Kali ini jalan yang ia lalui penuh belukar. Jalan setapak yang sangat ia kenali. Sepanjang jalan nyaris tak seorangpun ia temui, selain kabut hitam dan ilalang-ilalang yang berdiri setinggi mata kaki. Akhirnya sampai  juga ia pada sebuah bangunan kayu, berlantai bambu. Ah, disinilah ia biasa latihan menari bersama teman-temannya. Tempat yang dindingnya retak, dan atap setengah runtuh. Botol-botol vodka dan wiski berserakan. Gelas-gelas yang pecah serta pakaian-pakaian dalam manusia benggantung di dinding-dinding. Sebuah type recorder terdengar menyala, memainkan irama Harlem shake.
            Dalam suasana hati yang bergulung-gulung terdengar  suara seorang wanita begitu keras memanggil namanya. Ia putar pandangan, namun hanya kabut pekat yang ia lihat, mengambang diremang cahaya. Sebelum sempat melangkah pergi, sebuah tangan menyentuh pundak kirinya. Ia menoleh. Kerongkongannya tercekat. Seorang wanita berambut acak-acakan mirip bibinya berdiri dihadapannya. Tanpa berkata sepatah katapun sebilah pisau ditangan kiri wanita itu melayang cepat kearah wajah nani.
‘’Nani... Nani... kau kenapa Nani’’? wanita setengah baya itu terus menguncang tubuh Nani yang dipenuhi keringat dan nafas berhembus tak beraturan. Nani membuka mata. Ia melihat sosok  wanita yang tampak cemas ketakutan.
‘’kau bermimpi buruk?’’ ujar bibi sambil terus mengusap lembut punggung Nani. Terasa nafasnya belum stabil. Langit tampak gelap. Ternyata ia sudah dua jam tertidur di sanggar karena kecaian usai mengajar murid-muridnya. Untung ada bibi, kalau tidak mungkin ia telah mati sia-sia dalam mimpinya. ‘’Mimpi yang aneh, namun terlihat begitu nyata’’, ujarnya dalam hati.
*
            Setahun sudah grup tarinya bubar, namun ia belum memberi jawaban tentang keinginan paman Harun yang menginginkannya bekerja dikota. Nani merasa sedang diadili oleh nasib. Kursus tarinyapun sekarang terancam bubar. Disebabkan alasan-alasan yang berbeda dari murid-muridnya. Ada yang beralasan les privat, dan ada juga yang beralasan harus menolong orang tua kesawah dan berladang.
Saban petang, sebelum matahari tergelincir dibarat, Nani masih setia menyusuri jalan setapak, melintasi rimbunan ilalang yang makin meninggi, untuk kemudian tiba disebuah bangunan berlantai bambu. Bangunan yang selalu mengingatkannya dengan gendang-gendang yang ditabuh, atau tepuk tangan Wiwit, Hanum dan Helia yang memuji kehebatan gerakan tarinya. Kemudian dalam keheningan ia pejamkan mata. Ia biarkan angin-angin lembut membelai rambut dan melambungkan angan kemasa silam. Tanpa ia sadari tangan dan kakinya telah bergerak. Menari, mengikuti irama sendu angin. Sekarang gerakan yang ia mainkan adalah gerakan-gerakan kerinduan dan harapan. Kerinduan akan kawan-kawan lamanya sesama menari dulu. Dan harapan untuk terus menari walaupun tanpa orang lain. Ia akan terus menari meski hanya teruntuk dirinya, dan teruntuk Tuhan yang masih setia merawat mimpi-mimpinya.


Padang, 24 April 2013


Blog, Updated at: 21:50

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Powered by Blogger.