LELAKI YANG MENIUP HUJAN
sesungguhnya, ini bukan tentang ''hujan yang menyala di matamu'' sayang, bukan itu
ini juga bukan tentang ''hujan yang jatuh tiba-tiba''
dan kita berlari berteduh di rongga ternyaman dari hati masing-masing
ini juga bukan tentang sajak yang ''setelah hujan reda'' ada pelangi melengkung indah antara hati hati kita
sekali lagi ini bukan tentang itu
semuanya telah engkau larutkan dalam sungai kenangan, bukan?
ini tentang hujan Desember yang begitu faham cara mengalirkan hangat masa kecil ke dalam gigil tubuhku
juga tentang malam yang membawa kado sepi
dan 20 batang hujan pengganti 20 nyala lilin yang mesti kutiup malam ini
sembari mengenang tahun-tahun yang disesap mulut-mulut sunyi
sayang
hendak aku khabarkan keadaan seperti apa yang begitu dalam melumat rongga dadaku
;( pada perahu usia,kulihat masa kanak-kanak melebur dalam kaabut-kabut purba
gelombang-gelombang harapan silih berganti menerjang kesepiannya
aku seperti terjerat jangkar takdir yang asing
sa'at mimpi melambungkan do'a-do'a ke sisi langit purnama
matahari mengisahkan indahnya rahasia-rahasia cahaya lusa
diam-diam ranting usia yang tidur dalam jasadku serasa berderak tiba-tiba)
sungguh, ini bukan tentang hujan yang menyala di mataku sayang
dan kau datang membawa sapu tangan untuk menepis abu gerimis dari wajahku
sekali lagi bukan itu
ini tentang hujan Desember yang mengisi lembar-lembar kosong diaryku
menjadi sajak-sajak muram yang mesti kutulis
mengapa kau tidak datang untuk sekedar melipat dan membuangnya
kemudian mengajariku merangkai kalimat ''selamat datang'' untuk hari yang berbahagia ini
menemaniku meniup 20 nyala hujan
memadamkan cahaya masa lalu yang nyala di mata dan sukmaku
16-12-2014
ini juga bukan tentang ''hujan yang jatuh tiba-tiba''
dan kita berlari berteduh di rongga ternyaman dari hati masing-masing
ini juga bukan tentang sajak yang ''setelah hujan reda'' ada pelangi melengkung indah antara hati hati kita
sekali lagi ini bukan tentang itu
semuanya telah engkau larutkan dalam sungai kenangan, bukan?
ini tentang hujan Desember yang begitu faham cara mengalirkan hangat masa kecil ke dalam gigil tubuhku
juga tentang malam yang membawa kado sepi
dan 20 batang hujan pengganti 20 nyala lilin yang mesti kutiup malam ini
sembari mengenang tahun-tahun yang disesap mulut-mulut sunyi
sayang
hendak aku khabarkan keadaan seperti apa yang begitu dalam melumat rongga dadaku
;( pada perahu usia,kulihat masa kanak-kanak melebur dalam kaabut-kabut purba
gelombang-gelombang harapan silih berganti menerjang kesepiannya
aku seperti terjerat jangkar takdir yang asing
sa'at mimpi melambungkan do'a-do'a ke sisi langit purnama
matahari mengisahkan indahnya rahasia-rahasia cahaya lusa
diam-diam ranting usia yang tidur dalam jasadku serasa berderak tiba-tiba)
sungguh, ini bukan tentang hujan yang menyala di mataku sayang
dan kau datang membawa sapu tangan untuk menepis abu gerimis dari wajahku
sekali lagi bukan itu
ini tentang hujan Desember yang mengisi lembar-lembar kosong diaryku
menjadi sajak-sajak muram yang mesti kutulis
mengapa kau tidak datang untuk sekedar melipat dan membuangnya
kemudian mengajariku merangkai kalimat ''selamat datang'' untuk hari yang berbahagia ini
menemaniku meniup 20 nyala hujan
memadamkan cahaya masa lalu yang nyala di mata dan sukmaku
16-12-2014
POHON SAJAK
lihatlah pohon sajakyang berbuah semacam puisi berkulit rindudahannya melebar ke segala arahtumbuh danberakar hingga ke ceruk jiwa
sebatang pohon sajak berpagar dinding waktutak rebah diterpa angintak runduk dilalui musim yang melapukberpasang-pasang burung-burung waktu berkelindan di dahannyamemeriahkan semacam musim pesta perkawinan
sebatang pohon sajaktempat kepompong melekatkan sunyisemedi dalam rumah penantianmemintal benang puisi menjadi sepasang sayap kupu-kupuuntuk terbang bebas mengitari rekah bibir bunga perindu
sebatang pohon sajak meranggaskan buahdisetiap musim, buah jatuhbertunas dan tumbuhberebut lahan di tanah jiwa yang lembabberakar ke lapisan duka larayang terkubur dalam ceruk jiwa
payakumbuh, 1-04-14
lihatlah pohon sajak
yang berbuah semacam puisi berkulit rindu
dahannya melebar ke segala arah
tumbuh dan
berakar hingga ke ceruk jiwa
sebatang pohon sajak berpagar dinding waktu
tak rebah diterpa angin
tak runduk dilalui musim yang melapuk
berpasang-pasang burung-burung waktu berkelindan di dahannya
memeriahkan semacam musim pesta perkawinan
sebatang pohon sajak
tempat kepompong melekatkan sunyi
semedi dalam rumah penantian
memintal benang puisi menjadi sepasang sayap kupu-kupu
untuk terbang bebas mengitari rekah bibir bunga perindu
sebatang pohon sajak meranggaskan buah
disetiap musim, buah jatuh
bertunas dan tumbuh
berebut lahan di tanah jiwa yang lembab
berakar ke lapisan duka lara
yang terkubur dalam ceruk jiwa
payakumbuh, 1-04-14
IKA AKU TAK LAGI ADA
suatu hari jika aku tak lagi ada
maka ikutilah iring-iringan angin yang mengantar kepergianku, Meyhara
padanya telah kutitip alamat kepulangan sebuah perjalanan tanpa muara
juga suara lengking pilu jiwa yang mendendam diburu maut
dibelakang sudut kamar sepi, suatu hari
jika aku tak lagi ada
maka tenangkanlah isak hujan yang menangisi kepergianku
biar tak terbentang sebuah lautan diatas tanah pusara
walau beribu bahkan berjuta samudera air garam
tak akan sanggup mengasinkan pahit kepedihan
perahu umur yang berlayar jauh
pun telah tertambat jangkar maut sa'at menepi
di satu hari
sa'at aku tak lagi ada, Meyhara
layatilah mayat kepergianku dengan pakaian ziarah
yang kujahit dengan pintalan benang-benang waktu
balutkan bekas jemariku keseluruh tubuhmu
agar terus kurasai denyut namaku berdetak bersama jantungmu
jika suatu malam menghukummu dengan ingatan masa lalu kita, Meyhara
bakarlah puisi ini menjadi penerang jalan
sa'at kau mencari sebuah pintu waktu yang masih terbuka
didalamnya akan kau jumpai diriku
sebagai sebuah keabadian
02-04-14
maka ikutilah iring-iringan angin yang mengantar kepergianku, Meyhara
padanya telah kutitip alamat kepulangan sebuah perjalanan tanpa muara
juga suara lengking pilu jiwa yang mendendam diburu maut
dibelakang sudut kamar sepi, suatu hari
jika aku tak lagi ada
maka tenangkanlah isak hujan yang menangisi kepergianku
biar tak terbentang sebuah lautan diatas tanah pusara
walau beribu bahkan berjuta samudera air garam
tak akan sanggup mengasinkan pahit kepedihan
perahu umur yang berlayar jauh
pun telah tertambat jangkar maut sa'at menepi
di satu hari
sa'at aku tak lagi ada, Meyhara
layatilah mayat kepergianku dengan pakaian ziarah
yang kujahit dengan pintalan benang-benang waktu
balutkan bekas jemariku keseluruh tubuhmu
agar terus kurasai denyut namaku berdetak bersama jantungmu
jika suatu malam menghukummu dengan ingatan masa lalu kita, Meyhara
bakarlah puisi ini menjadi penerang jalan
sa'at kau mencari sebuah pintu waktu yang masih terbuka
didalamnya akan kau jumpai diriku
sebagai sebuah keabadian
02-04-14
0 comments:
Post a Comment