TANAH MAKAM
Telah memasuki hari kedua tersiar kabar kematian anaknya di kota. Namun Wan Pito masih sempat melakukan aktifitasnya seperti biasa. Setelah selesai menyabitkan rumput untuk kerbau-kerbau nya, ia masih sempat turun kesawah siang ini. Memanen padi juragan Tohang yang dititipkan tempo hari. Begitu pula dengan istrinya, Sulastri. Semenjak ayam berkokok tadi pagi, ia telah sibuk meneteng sayuran kepasar. Bukan karena kedua orang tua itu tidak punya uang untuk berangkat ke kota, sekedar melayat dan mengurus jenazah anak laki-laki semata wayangnya itu. Apalagi untuk membawa jenazahnya pulang untuk dimakamkan di tanah dimana ia dulu dilahirkan, seperti yang diminta Salsabila, menantunya, yang tiada lain istri dari anak laki-lakinya yang sekarang telah meninggalkan dunia. Sungguh tidak mungkin. Ada semacam peristiwa kelam masa lalu yang menelan bulat-bulat hati kedua orang tua itu untuk membawa jenazah anak laki-laki nya itu pulang kekampung halaman.*
Angin berdesau lembut petang itu. Satu persatu para pelayat telah meninggalkan rumah Salsabila. perlahan, suara mulut yang berdecak membicarakan jenazah suaminya tidak lagi terdengar, seiring dengan melenyapnya suara langkah-langkah kaki di halaman. Namun pro dan kontra atas jenazah Samiri, suaminya, masih meletup-letup seperti hendak meledak saja. Tidak sedikit yang menggulirkan komentar-komentar miring.
“Kasihan ya Samiri. Hidup sudah di uji, matipun di uji juga”
“la, itu teh wajar atuh, nikah saja tidak direstui orang tua, masuk kenegeri orang tidak mematuhi peruman adat pula. Itu sudah hukuman dari roh leluhur karena ia masuk kekampung ini tidak melakukan pemurnian darah terlebih dahulu”
Pemurnian darah yang mereka maksud adalah seorang laki-laki baru bisa dikatakan bebas dari tuntutan peruman adat jika ia telah melakukan ikatan darah dengan gadis dikampung tersebut, alias ia harus menikah dengan kadis dikampung itu, kampung Rejo. Kalau tidak, maka ketika ia telah meninggal dunia maka jenazahnya harus kembali dipulangkan ketanah asalnya. Tapi bagaimana mungkin ia sebagai gadis minang, yang telah mati-matian mempertahankan cinta mereka sampai harus terusir dari kampung halaman begitu saja merelakan suaminya bermadu dihadapannya.
Namun, ingin rasanaya Salsabila menyumpal mulut orang-orang yang berkomentar miring seperti itu. Kalau saja ia tidak ingat sedang berada dihadapan peti jenazah suaminya, mungkin jari-jari tangannya telah beralih mencakar muka orang-orang tersebut. Tapi tentu ia masih orang yang punya rasa malu dan harga diri. Tidak ingin ia merendahkan dirinya dihadapan jenazah suaminya, sekalipun ia telah tiada.
Diantara yang lain, ada juga yang menyuguhkan komentar positif dan ikut memberikan solusi jalan keluar.
“Sabar ya Bil ! ini teh ujian dari gusti Allah. Nanti kami akan coba membantu berunding dengan tetua adat agar suamimu bisa diizinkan dimakamkan dikampung kita ini”.
Salsabila hanya tersenyum tipis. Sekalipun ia juga berharap demikian, namun disisi lain hati terdalamnya ia mengeluh,’’itu tak akan mungkin terjadi.
Ada juga yang mengusulkan jenazah suaminya dikubur dipemakaman umum saja. Tapi ia sadar biaya membeli sepetak tanah makam dipemakaman umum bisa mencapai puluhan juta. Tentu ia tidak mempunyai uang untuk itu. Apalagi yang letaknya jauh kepusat kota, tentu membutuhkan proses yang rumit dan panjang.*
Sekarang jenazah ditengah rumah itu benar-benar telah kehilangan pelayatnya. Cuma air mata Salsabila dan suara bacaan Yasinnya yang setia melayat. Dibelakang, ada Poniem, teman baiknya yang setia membantu menyiapkan segala sesuatu keperluannya. Poniem yang awalnya bukan siapa-siapa telah dianggap malaikat oleh Salsabila. Ia dan suaminya semula tidak punya tempat tingal dikota, lewat Poniem lah rumah petak kecil yang semula ruko ini dikontrakkan untuk mereka.
“Sudah kau coba hubungi lagi keluarga di kampung bil?”
Poniem yang sedari tadi dibelakang tiba-tiba saja sudah berada disamping Salsabila.
“sudah kak”.
“lalu apa tanggapan mereka?”
Usai poniem bertanya demikian ada yang berubah dengan reaksi Salsabila. Cuma gelengan pelan yang ia berikan sebagai jawaban. Poniem yang sangat mengerti dengan maksud gelengan itu tidak berani lagi melanjutkan pertanyaan. Sunyi yang sedari tadi pias berganti sedu sedan. Salsabila merunduk. Kedua tangan ia tangkupkan kewajah. Seolah ia tidak lagi punya muka untuk dihadapkan kepada jasad suaminya.
“aku tahu, hukum adat terkadang memang kejam, Bil”. Bahkan mampu bertahta diatas hukum agama. Berdo’alah ! semoga tetua adat dan orang-orang kampung ini dibukakan hati mereka”, ujar Poniem sambil terus setia tangannya mengelus punggung sahabatnya itu.
Namun kesedihan yang sa’at ini ia alami telah membasahi puncak kesabarannya. Tak ia pedulikan lagi keadaan yang sekarang memukulnya. Tak ia hiraukan jenazah Samir yang terbujur kaku dihadapannya “ini salahku, kak ! kalau saja dulu aku tak memaksanya untuk mengawiniku, kalau saja dulu aku tak memenuhi keinginan untuk kawin lari bersamanya, tentu akan banyak tanah makam yang setia menjadi tempat peristirahatan terakhirnya”. Seluruh kalimat yang terlontar berpadu sedu sedan dan air mata. Ditepiskannya pelukan poniem dari bahunya, dan berlari ke kamar.
Poniem yang tidak menyangka akan begitu reaksi Salsabila berusaha mengikutinya. Suara pintu yang dibanting memotong langkahnya, ia hanya berdiri di depan pintu kamar yang sudah dikunci dari dalam.
“Bil, bukan air mata dan sesal yang diharapkan suamimu, namun kesabaran dan ketegaran hatimu yang ia butuhkan”. Poniem mencoba menasehati. Namun sia-sia. Salsabila telah membawa rasa sesal dan kesedihan itu kembali kemasa lalunya.*
Tepat 10 tahun silam, bibit-bibit cinta itu telah menemukan ladang nya, dan bersemi. Namun bagi masyarakat kampung, terutama ayah salsabila sebagai penghulu adat, cinta mereka adalah musibah.
“bagaimana ini bisa terjadi ? adat diletakkan sebagai hukum utama. Tetua adat selalu menggunakan hukum adat untuk menghantam warga pelarian seperti dirinya. Diminang ataupun disini sama saja. Adat digunakan sebagai pelarian dari hukum syari’at.”, ujarnya dalam hati.
Masih kental di iingatan Salsabila bagaimana ayahnya yang seorang pemimpin adat bercekok lidah dengan keluarga Samiri sebab keinginan mereka untuk menikah. Terus terang ayahnya yang seorang pemimpin adat begitu menentang, dan mencap pernikahan mereka akan menjadi kutukan bagi generasi berikutnya. Kecuali kalau Samiri mampu menyemblih seekor kerbau putih, yang darahnya dianggap sebagai pemurni hukum dan penebus kutukan bagi keturunan. Sejak zaman nenek moyang sampai sekarang perkawinan sesuku adalah hal yang sangat dilarang di minangkabau.
Dikampungnya ada sebuah cerita yang sangat popular. Cerita tentang sumiran dan saritem yang berani menikah sesuku. Sehingga setiap kali Saritem melahirkan anaknya selalu tewas menggenaskan . kata orang tua tua dimangsa Situah, harimau jadi-jadian yang amat popular di Minangkabau.
Namun angin-angin cinta yang berhembus mesra dari sepasang hati dua sejoli itu sudah tidak dapat ditepiskan kedatangannya. Angin itu jualah yang bisa menggugurkan titah adat diladang cinta mereka. Dan angin itu jua yang telah melemparkan dua sejoli itu ke kampung Rejo ini. Sebuah kampung dipedalaman pulau jawa yang begitu tinggi menjunjung nilai-nilai estetika klasik titah nenek moyang yang masqul dihukum-hukum adat.
Salsabila mau tidak mau harus melepaskan keanggotaannya sebagai putri tunggal Datuk Bandaro Basa. Keputusannya untuk kawin lari dengan Samiri telah menyisakan dendam tersendiri dihati abahnya terhadap keluarga Samiri. Dendam pemimpin adat adalah dendam turunan. Ia memakai tangan adat untuk melampiaskannya kepada keluarga Samiri yang telah membawa kabur putri tunggalnya. Dendam untuk tidak menerima kehadiran Samiri kembali di kampung ini. Sampai ia telah mati sekalipun.*
Ternyata perundingan dengan Empu Kromo hanya menghasilkan keputusan, bahwa jenazah suaminya itu harus segera dibawa pulang ke kampung halaman. Ia memberikan waktu tenggang satu hari lagi untuk prosesi. Salsabila sudah memohon agar titah adat dapat diputihkan sehingga jenazah suaminya dikubur dikampung Rejo ini saja. Namun Empu Kromo tidak menyahut.
“Saya tidak bisa seenaknya merubah aturan yang sudah berlaku. Ini sudah peruman adat. Salah suamimu sendiri kenapa dulu tidak mematuhi aturan adat kampung ini.” Ujar Empu Kromo dengan nada bicara yang menunjukkan ketidak senangan dengan Salsabila.
Perkataan Empu Kromo itu seperti hendak menyuntikkan amarah dilubuk hatinya. Bagaimana mungkin dulu ia mengizinkan suami yang begitu dicintainya menikah lagi dengan perempuan kampung ini hanya untuk sebuah alasan yang ia anggap begitu tidak penting. Hanya untuk sebuah ritual pemurnian hukum adat.
Salsabila merasa percuma berunding dengan orang seperti Empu Kromo. Seharusnya sebagai tetua adat tidak menjadi matoritas yang menekan kelompok minoritas seperti dirinya.*
Dan Ini tepat hari ke tiga kematian samiri. Pertanyaan risih tentang kapan jenazahnya akan dikuburkan terus berdecakan dari mulut-mulut warga. Pertanyaan yang menambah lilitan-lilitan masalah difikirannya. Sebagai warga pelarian, Salsabila berfikiran adatlah yang selama ini menjadi pemusnah tatanan sosial kehidupan. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak lagi bernyawa terus diikat raganya dengan hukum-hukum tersebut. Sanksi yang telah memperlakukan suaminya secara hina. Sanksi yang seharusnya tidak lagi pantas ditegakkan pada jasad yang tidak lagi terikat dengan kehidupan dunia.
Diluar, rinai menghantarkan suasana makin cepat jadi gelap. Salsabila hanya terdiam, tak kuasa lagi menjawab suara-suara putus asa dari hatinya. Kepalanya mulai terasa berdenyut. Ia beristighfar dalam hati. Rasa sedih dan dendam menelan bulat-bulat hatinya. Tanpa sadar tangannya telah memeluk peti mati dihadapannya. Dalam peti itu sesosok tubuh kaku sedang menunggu nasib. Menatap rohnya yang terkatung-katung dipintu langit. Dari tempat itu ia tentu maih bisa mendengar tangin penyesalan Salsabila.
“kasihan dirimu bang, kalau saja waktu serupa dalam dongeng-dongeng yang dibacakan orang tua kepada anak-anak mereka sebelum tidur, tentu aku akan meminta untuk kembali kemasa sebelum kau menikahiku.
Akan kupersiapkan terlebih dahulu sepetak tanah makam untukmu, untukku dan anak-anak kita”.*
Malam itu. Purnama menangkap langkah seorang wanita yang berjalan mengendap menelusuri pekarangan masjid Babussalam. Kerudung putihnya menari diterpa angin. Cahaya purnama membingkai hitam bayang-bayang tubuhnya. sekilas orang-orang akan berfikiran kalau seseorang yang berjalan tengah malam kearah masjid adalah mereka yang hendak melaksanakan Qiyamullail. Namun tidak sedikitpun terlihat pertanda bahwa perempuan itu hendak memasuki masjid. Ia memutar langkah ke arah belakang masjid. Menelusuri rumput-rumput liar yang menjulang hingga mata kaki. Langkahnya berhenti diatas sebidang kecil tanah kosong. Pandangan matanya tertuju pada cangkul dan sebuah bungkusan besar yang dari awal sudah berada disana. Dari penutup bungkusan itu menjulur sebuah benda. Tangan manusia.*
Keesokan paginya warga desa Rejo digegerkan dengan peristiwa yang mereka anggap paling keji sepanjang manusia menghuni desa mereka. Dari ba’da subuh warga terus berdatangan memenuhi area masjid yang sudah diberi jalur kuning oleh polisi. Berawal dari laporan seorang jama’ah kepada Engku Kromo, berkenaan dengan bau busuk yang bersumber dari pekarangan dibelakang masjid. Seperti bau bangkai. Bangkai manusia, ujarnya.
Pekarangan kosong dibelakang masjid itu telah berubah sebuah gundukan. Beberapa batang kamboja ditancapkan disana. Tampaknya belum terlalu lama ditanam. Daun-daunnya pun tanpak layu dan berguguran ditanah.
Beberapa orang polisi mulai menggali. Diduga dari gundukan tanah itulah bau busuk dan menyengat itu berasal. Belum terlalu dalam menggali mata cangkul meraka menyentuh sebuah benda yang dibungkus rapat. Setalah diangkat bau busuk itu makin menyengat. Perlahan pengikat bungkusan itu dibuka. Terdengarlah suara mulut berdecakan menyebut nama Salsabila.
Empu Kromo terlihat begitu marah dan mengutuk. Ia memerintahkan kepada polisi untuk menangkap wanita yang telah menebarkan bau busuk sekaligus kutukan bagi desa mereka.
(***)SINGGALANG, 31 MARET 2013
0 comments:
Post a Comment